Ibuku Sang Murobbi
Dalam Suatu Pengajian di daerah Bekasi Seorang Ustadz (Sebut Saja, ustadz Ilham) menceritakan pengalamannya ketika melamar jadi dosen di sebuah Perguruan Tinggi Islam. Ia Mendapatkan rekomendasi dari Ketua yayasan PTI tersebut untuk mendaftarkan diri menjadi dosen. Ketua yayasan tersebut berjanji akan menerima beliau sebagai dosen. Akhirnya ustadz Ilham mencoba untuk mendaftarkan dirinya.
“Terima Kasih Pak Ilham, sudah melamar menjadi dosen di tempat kami.” Kata Pak Hasan yang mewakili Pihak Kampus.
“Saya Juga berterima kasih telah disambut hangat oleh pihak kampus,” Jawab ustadz tak kalah hangatnya.
“Kalo boleh tahu, Pak Ilham punya Murabbi?” Pak Hasan mengajukan pertanyaan cukup serius.
“Alhamdulillah ada Pak.” Ustadz menjawab santai.
“Kalo boleh tahu siapa Murabbinya?” Rasa penasaran menyelimuti Pak Hasan.
“Ibu Saya.”
Pembicaraan terhenti beberapa saat. Mungkin Pak Hasan kaget atas jawaban ustadz Ilham. Pak Hasan mengira-ngira apakah jawaban ustadz hanya bercanda atau sungguh-sungguh. Yang pasti seorang ibu menjadi murabbi bagi pemahaman Pak Hasan adalah suatu hal yang jarang Terjadi.
“Pak Ilham terima kasih sudah melamar di PTI Kami, Nanti akan kami kabari bapak diterima atau tidak.” Pak Hasan mengakhiri Pembicaraan.
Akhirnya ustadz Ilham pulang, dan tidak pernah kembali ke ruangan itu. Karena memang tidak pernah datang kabar ia diterima di sana. Ia selalu berpikir, apakah salah jika aku menyatakan “Murabbiku adalah Ibu?”
Kisah di atas adalah kisah nyata yang disampaikan sang ustadz dalam pengajian rutinnya. Proses pendidikan Indonesia saat ini telah disempitkan artinya hanya berada di sekolah. Sehingga pemerintah belum memprioritaskan pendidikan parenting bagi para calon ibu. Padahal pendidikan di sekolah hanyalah sementara, sedangkan pendidikan dari seorang ibu adalah selamanya. Sehingga banyak pemuda-pemudi muslim saat ini merasa tak dididik (tertarbiyah) oleh ibu atau kedua orang tuanya. Wajar jika ungkapan “Murabbiku adalah Ibu” menjadi hal yang sangat asing.
Padahal jika kita mau mengambil pelajaran dari proses pendidikan orang-orang besar. Kita akan tahu betapa besarnya tanggung jawab proses pendidikan dari seorang ibu. Ulama Dari Kuwait, Dr Tariq Suwaidan penulis Biografi 4 Imam Mazhab menuliskan Kisah besarnya peran seorang ibu bagi proses Pendidikan Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad.
Ibu Imam Malik sang Pendidik
Pada Masa Kecilnya Imam Malik Memiliki kecenderungan kepada lagu dan musik. Ibunyalah yang telah membuat Imam Malik meninggalkan dunia lagu dan musik beralih ke dunia ilmu hingga akhirnya menjadi Ulama Fiqih yang ilmunya terus bermanfaat hingga saat ini.
Imam Malik Menuturkan:
Pada Masa kecilku, aku sangat menyukai para penyanyi. Ibuku tahu aku sangat gandrung dengan nyanyian, tapi ia merasa bahwa teladan yang kuidamkan tidak tepat dan tidak benar. Ia pun memalingkan aku dari lagu-lagu itu. IA berpesan, “Seorang penyanyi, jika ia buruk rupa, maka lagunya tidak akan dilihat dan didengarkan. Karena itu tinggalkanlah lagu dan tuntutlah ilmu fiqih!”
Imam Melanjutkan:
Aku pun akhirnya meninggalkan para penyanyi itu dan mengikuti para fuqaha sehingga Allah mewujudkan cita-citaku seperti sekarang.
Pada suatu hari ibuku datang membawakan pakaian kebesaran para ulama. Ia mengenakannya untukku dan memasangkan kopiah di kepalaku. Ia memasangkan balutan di kopiah itu, lalu menarikku seraya berkata, “Sekarang, pergilah!” Ia menunjukkan kepadaku seorang Ulama.
Ternyata Pendidikan seorang ibu sang imam tidak hanya sebatas memotivasi anaknya untuk menjadi Ulama, bahkan sang ibu juga memberikan pengarahan dalam proses Pendidikan sang Imam.
Sang Ibu Berpesan kepada Imam Malik, “Pergilah ke tempat Rabi’ah, pelajari akhlaqnya sebelum kau mempelajari ilmunya.” Sungguh pengarahan yang luar biasa dari seorang ibu yang mulai. Ia paham bahwa sang anak harus mengutamakan akhlak di atas ilmu.
Imam Syafi’i dan Ibu yang Cerdas.
Ibunda Imam Syafi’i adalah seorang Ahli ibadah yang cerdas. Kecerdasan Beliau tampak ketika ia menjadi salah seorang saksi di pengadilan Mekah bersama seorang saksi perempuan lain dan seorang saksi laki-laki. Ketika hakim ingin memisahkan antara kesaksian dua orang perempuan tersebut. Akan tetapi, ibunda imam Syafi’i berseru, “Kau tidak layak melakukan hal itu karena Allah telah berfirman, Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki (di antara kalian). Jika tak ada dua orang lelaki maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya (Al-Baqarah: 282).” Akhirnya sang hakim menarik kembali pendapatnya.
Peran Ibunda Imam Syafi’i terhadap dirinya sangatlah besar. Seperti Imam Malik, Imam Syafi’i juga mendapat banyak pengarahan dari sang ibu dalam hal menuntut ilmu. Ibunya selalu membimbing Syafi’i untuk terus meraih ilmu dengan mengirimnya dari Gahaza ke Mekah. Sang ibu mengirim Syafi’i agar dapat hidup tidak jauh dari pusat ilmu kala itu.
Ibunda Syafi’i juga menyiapkan seluruh perbekalan perjalanan sang imam menuju Mekah. Dikisahkan oleh Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Syafi’i pernah berkata “Ibuku Mempersiapkan segalanya untuk perjalananku ke Mekah. Aku pun berangkat ke sana. Ketika itu aku masih berumur sekitar sepuluh tahun. Aku menetap di rumah salah seorang kerabatku dan mulai menuntut ilmu di sana.” Kondisi Imam Syafi’i yang tumbuh dalam keadaan Yatim, menjadikan sang Ibu adalah Murabbi pertamanya.
Prioritas Ibu Imam Ahmad
Ibu Imam Ahmad bernama Shafiyyah. Shafiyyah sangat memperhatikan putra yatimnya, Ahmad. Shafiyyah memilih tetap menjanda pada usianya yang terbilang muda demi mengasuh Ahmad. Pada saat itu mayoritas perempuan Arab bila ditinggal mati suaminya, cenderung untuk menikah lagi demi menjaga kehormatan dan nama baiknya. Bahkan sudah menjadi tradisi wanita ditinggal mati suami atau dicerai, harus segera menikah lagi. Tetapi berbeda dengan mayoritas perempuan Arab. Shafiyyah bertekad untuk totalitas mengasuh putranya yang kelak akan menjadi Imam Besar Sepanjang Zaman. Ketika ditinggal Suami, Shafiyyah masih berusia 30 Tahun.
Kasih sayang dan perhatian penuh yang diberikan oleh sang ibu, telah mendidik Ahmad tumbuh menjadi seorang Pemuda yang berbakti kepada orang tuanya. Pernah suatu ketika Ahmad menolak menyeberangi sungai Tigris untuk sekadar menerima hadits bersama teman-temannya dari Jarir ibn Abdul Hamid, Ulama Ahli rakyu. Saat teman-temannya mengajaknya, Ahmad mengatakan “Ibuku tidak mengizinkanku melakukannya.” Padahal, ketika itu umur Ahmad sudah 22 tahun.
Dalam Menuntut Ilmu Ahmad selalu mengutamakan mendapat ridha dari sang ibu. Karena beliau tahu mendapatkan Ridha sang Ibu adalah sunnah Rasul-Nya. Dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata; Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda; Ridha Allah pada ridha orangtua dan murka Allah pada murka orangtua (HR. Al-Baihaqy)
Kehebatan para Imam Mazhab ternyata tak lepas dari kehebatan Murabbi mereka yaitu, kontribusi para ibunda. Karena ibu adalah madrasah pertama pendidikan seorang anak. Kita dapat mengambil pelajaran dari ibu para imam bagaimana mendidik seorang anak. Seperti imam Malik & Imam Syafi’i yang diberi arahan oleh sang ibu dalam menuntut ilmu. Mereka dipersiapkan perbekalannya dalam mengarungi samudra ilmu yang sangat luas. Seorang ibu juga harus memberikan prioritas hidupnya mendidik sang anak layaknya ibu Imam Ahmad. Karena setiap ibu harus paham, mendidik anak bukanlah sambilan tetapi keutamaan.
Sudah sepantasnya seluruh umat Islam mulai memperhatikan peran ibu dalam mendidik sang anak. Pengadaan sekolah calon ibu, sekolah pra Nikah yang mulai gencar saat ini adalah suatu kemajuan yang patut disyukuri dan ditindaklanjuti. Seperti apa yang penulis tuliskan di awal “Pendidikan di sekolah hanyalah sementara, sedangkan pendidikan dari seorang ibu adalah selamanya