Mendidik Bukan Menghardik
Betapa bahagianya melihat pasangan suami istri itu. Sang istri sedang hamil tua, suaminya mengelus lembut perut istrinya dengan penuh kasih sayang. Ada buah cinta di dalam rahim sang istri. Buah hati yang sangat dinantikan kehadirannya. Menantikan wajah mungilnya, senyum manisnya, tingkahnya yang menggemaskan, bahkan tangisannya yang selalu memecah kesunyian malam. Itulah orangtua.
Setelah anaknya terlahir ke dunia ini, kehidupan menjadi lebih sempurna. Waktu terus berlalu, anak bayinya kini sudah beranjak menjadi anak yang aktif, gerak kesana kemari, bahkan tak jarang anaknya memecahkan sesuatu karena tidak bisa diam. Anak yang tadinya lucu dan menggemaskan, kini berubah menjadi anak yang nakal dan menyebalkan. Begitulah label yang ditempelkan oleh orangtuanya sendiri kepada anaknya. Hati-hati, ucapan orangtua selalu dianggap doa.
Terkadang, sebagai orangtua kita reflek mengucapkan kata kasar bernada marah ketika melihat anaknya berbuat salah. Tanpa sadar ucapan yang kita lontarkan kepada anak kita telah menghardik hatinya, merenggut senyumnya dan memberikan jarak antara orang tua dan anak. Ketegasan sangat diperlukan dalam mendidik anak. Tetapi, mendidik bukan menghardik!
Kenali usia perkembangannya, jangan-jangan kita sebagai orangtua belum mempunyai cukup bekal tentang ilmu tumbuh kembang anak. Sehingga ketika menghadapi suatu kejadian yang kita anggap salah, serta merta kita memarahi anak tanpa mengetahui bahwa sebenarnya anak kita belum tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Lalu, bagaimana cara menghadapinya ketika orangtua memergoki atau mendapatkan laporan bahwa anaknya berbuat kesalahan?
1. Jangan panik. Kepanikan kita membuat anak takut dan berusaha menutupi kesalahan mereka. Tenangkan diri sebisa mngkin.
2. Konfirmasi kejadian. Gali informasi sedetil mungkin tentang kejadian yang sebenarnya. Konfirmasikan kepada anak apakah benar dirinya telah berbuat kesalahan.
3. Cari tahu motifnya. Jangan-jangan anak kita melakukan sesuatu kesalahan yang dirinya sendiri belum tahu bahwa hal itu adalah salah. Motifnya hanya ikut-ikutan teman atau karena dia sedang mencari tahu tentang suatu hal.
4. Maka tugas orangtua selanjutnya adalah memberikan arahan tentang apa yang dilakukan. Benar atau salah perilakunya tersebut, berikan pemahaman tentang konsekuensi yang harus ditanggung apabila anak melakukan kesalahan. Tentunya menggunakan bahasa sesederhana mungkin supaya mudah dipahami oleh anak.
5. Ambil pelajaran. Ajak anak untuk berpikir sederhana dan belajar mengambil pelajaran dari setiap kejadian yang terjadi. Jika itu salah, supaya tidak diulangi lagi.
Selalu tanamkan dalam hati, bahwa anak adalah amanah dari Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban kita di akhirat kelak. Anak adalah investasi dunia akhirat. Jangan sampai anak menjadi boomerang bagi kita karena kesalahan kita sendiri. Salah asih, salah asuh, salah asah.
Wallahu a’lam bishshowab. Semoga bermanfaat untuk kita semua.[]
Oleh: Atfiyanah, S.Psi. (Guru BK SMP IT Usamah)