SEBELUM JAUH-JAUH MENCARI SOLUSI, PERBAIKI SHALAT KITA *)
“Wahai orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS Al Baqarah : 153)
Seorang sahabat bernama Rabi’ah bin Ka’ab al Aslamiy radliyallaahu ‘anhu yang biasa disebut Abu Firas dikenal sebagai ahlus shuffah (sahabat Nabi yang tinggal di Masjid Nabi, karena tidak mempunyai rumah tinggal). Beliau mengisahkan perjumpaannya dengan Rasulullaah Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam pada suatu malam. “Malam itu aku bermalam bersama Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam, maka aku menyiapkan tempat wudlu dan hajat beliau. Saat itulah Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam berkata kepadaku, ‘Wahai Rabi’ah, mintalah kepadaku!’ Dengan penuh suka cita, tanpa ragu sedikitpun akupun segera menyahut seruan beliau. ‘Aku memohon kepadamu (didoakan) agar aku menjadi teman dekatmu di surga’. Beliau Shallallaahu ‘Alayhi Wasallambersabda, ‘Adakah permintaanmu yang lain?’ Aku menjawab, ‘Yang demikian itu cukup bagiku’. Nabi Shallallaahu‘Alayhi Wasallam melanjutkan sabdanya, ‘Bantulah aku (agar keinginanmu terwujud) dengan memperbanyak sujud’ (HR Muslim)
Sebuah fragmen tentang tingginya cita-cita dan jauhnya visi seorang manusia begitu nyata ditampilkan dari dialog di atas. Sebenarnya, hal tersebut tidak terlalu mengherankan, karena Rabi’ah bin Ka’ab dan hampir semua shahabat Nabi hanya melanjutkan keyakinan yang didapat dari Nabi mereka Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam. Perhatikan sabda Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wasallamyang diriwayatkan Hudzaifah bin Yamanradliyallaahu ‘anhu, “Jika Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam ditimpa kesulitan, beliau bersegera melakukan shalat”. Bahkan pernah dalam sebuah kesulitan, beliau Shallallaahu ‘Alayhi Wasallambersabda kepada Bilal bin Rabah, “Hai Bilal! Panggillah kami untuk melaksanakan shalat dan berikanlah kenyamanan pada kami dengannya”. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa seharusnya hal demikian menjadi sebuah keyakinan dan “tidak menakjubkan” bagi kita, sebab Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wasallamdan parashahabatnya “hanya” melanjutkan perintah Tuhan mereka, “Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu (menjadi) sesuatu yang berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’” (QS Al Baqarah : 45).
Hal tersebut juga semakin menambah keyakinan kita akan kebenaran perintah Allah Subhaanahu Wa Ta’alaatentang tingginya kedudukan shalat bagi orang-orang beriman. Betapa tidak? Jika seorang psikolog terkemuka abad ke – 20, William James, dalam bukunya yang terkenal “The Varieties of Religious Experience” menuliskan, bahwa sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan menemukan kepuasan kecuali jika ia bersahabat dengan Kawan Yang Agung (The Great Socious). Dia adalah Tuhan…”. Lebih lanjut ia menyatakan, “…bahwa selama manusia belum berkawan dengan Kawan Yang Agung, maka selama itu pula ia akan merasakan adanya kekosongan dalam hidupnya. Ia hidup sepi dalam keramaian. Meskipun banyak teman dan luas pergaulannya, tetapi sebenarnya ia merasa sepi (hampa)…”. Kalau seorang yang belum jelas keimanannya pada Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa saja begitu yakin mengungkapkan kebutuhan manusia pada Tuhannya, apalagi orang-orang yang beriman.
Masalah dalam hidup adalah suatu yang niscaya. Tidak ada hidup tanpa masalah, dan jika tidak ada masalah, maka tidak ada kehidupan. Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa meyakinkan kita dengan firmanNya, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan ‘kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang berdusta” (QS Al ‘Ankabut : 2 – 3). Karena bagi setiap manusia ada masalah, yang membedakan adalah kadar masalah dan bagaimana cara menghadapi masalah itu. Kadar masalah ada yang besar, sedang, atau kecil. Begitupun cara menghadapinya, ada yang baik, benar, bijak, atau dewasa. Bahkan tidak sedikit orang menyelesaikan masalah dengan masalah lain. Masalah adalah simbol ketergantungan kita kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa. “Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)” (QS An Naml : 62). Sehingga mencari solusi atas permasalahan adalah deklarasi kepribadian kita secara keimanan. Apakah pencarian solusi akan meneguhkan Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa sebagai tuhannya, atau sebaliknya, “…apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?”
Mengapa harus memulai dengan memperbaiki shalat? Melalui tadabbur (perenungan) ayat-ayat Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa, hadits Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam, dan pandangan para salaafus shaalih tentang shalat, kita akan semakin yakin tentang jawaban bagi pertanyaan di atas. Pertama, shalat adalah perintah yang diturunkan dengan cara berbeda dibandingkan perintah lain. Kedua, shalat adalah pilar diinul Islam. Ketiga, shalat memiliki kedekatan dengan perintah Allah yang lain. Keempat, shalat adalah inti ibadah. Kelima, shalat adalah panggilan yang wajib segera dipenuhi. Keenam, shalat adalah wasiat terakhir Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam. Ketujuh, shalat adalah alat ukur iman dan amal seorang muslim. Ke delapan, shalat adalah syi’ar negeri yang dihuni orang-orang Islam. Kesembilan, shalat adalah iman itu sendiri. Kesepuluh, shalat adalah pembebas dari kemunafikan. Kesebelas, shalat adalah jalan orang-orang beriman. Kedua belas, shalat adalah ibadah yang disepakati semua makhluk Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa. Ketiga belas, shalat adalah ibadah yang memberi syafa’at. Keempat belas, shalat adalah penjagaan diri bagi manusia.
Semua berawal dari keyakinan yang penuh pada janji Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa. Dalam hadits qudsi, Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam bersabda, Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman, “Aku (Allah) berada pada prasangka hambaKu padaKu…” (HR Muslim). Demikian juga ketika Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa menjanjikan penjagaan bagi orang-orang yang beriman. Penjagaan Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa bagi orang-orang yang beriman ada dua, yaitu penjagaanNya dalam urusan dunia dan penjagaanNya pada urusan agama dan imannya. Penjagaan pertama diberikan Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa terhadap keselamatan fisik, harta, dan keluarga kita. Diriwayatkan secara shahih oleh Thabrani dan Al Hakim dan disepakati Adz Dzahabi, bahwa shahabat Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam bernama Safinah radliyallaahu ‘anhu dalam sebuah perjalanan menggunakan perahu mengalami musibah hingga terdampar di sebuah pulau. Saat ia tersadar, lewat di hadapannya seekor singa. Ia menyapanya dengan bewrkata, “Wahai raja hutan, aku adalah sahabat Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wasallam”. Maka sang raja hutan tertunduk dan berjalan di sisinya. SubhaanaLlaah! Penjagaan ke dua adalah yang paling utama. Hal ini yang seharusnya menjadi aatsar bagi orang-orang beriman yang menjaga shalatnya. Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman, “…dan dirikan shalat, sungguh shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar…” (QS Al ‘Ankabut : 45)
Sekarang saatnya bagi kita untuk memohon kebenaran janjiNya, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. (Mereka) adalah orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya…” (QS Al Mu’minuun : 1 – 2)
*) Diilhami dari Buku “Sebelum Jauh-jauh Mencari Solusi, Perbaiki Shalat Kita” karya Sulthan Hadi dan ditulis Ghusni Darodjatun, M. Pd pada Senin, 10 Rajab 1442 H / 22Februari 2020 M